Sabtu, 05 April 2008

tugas evaluasi belajar biologi

Pilihlah salah satu jawaban yang benar!

  1. kantung udara pada waktu burung terbang berfungsi untuk….
    1. melindungi tubuh dari kedinginan
    2. mencegah pengeluaran panas tubuh
    3. meringankan tubuh
    4. memperkeras suara
    5. alat Bantu pernapasan*

Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar!

  1. pernyatan yang benar mengenai gangguan pencernaan dan penyebabnya adalah….
    1. Sembelit,disebabkan kurang makanan berserat.*
    2. Diare,disebabkan kelebihan asam lambung.
    3. Gastritis,disebabkan iritasi pada dinding kollon.
    4. Ulkus,disebabkan racun yang dikeluarkan oleh bakteri.
    5. Radang usus buntu,disebabkan adanya gangguan absorpsi air

Nama : Rr. Winda Triwahyuni

NPM : 20054150006

Prodi : Biologi Unindra Smt 6

Jumat, 11 Januari 2008

pembelajaran interaktif parsial

Pengetahuan

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (RME)

Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep. Siswa mengalami kesulitan matematika di kelas. Akibatnya, siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR).

Karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment). Berkaitan dengan hal itu, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika realistik, pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan pengertian. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai pengertian kuat tentang konsep-konsep matematika. Dengan demikian, pembelajaran Matematika Realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.

Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000).

Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.

Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR).

Pembelajaran MR pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan di Belanda dan dipandang sangat berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.

Realistic Mathematics Education (RME) Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) . Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.

Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal. Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Karakteristik RME

Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).

1 Menggunakan Konteks “Dunia Nyata” Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1 Konsep Matematisasi (De Lange,1987) Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000)

2 Menggunakan Model-model (Matematisasi) Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

3 Menggunakan Produksi dan Konstruksi Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

4 Menggunakan Interaktif Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

5 Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment) Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

Matematika Realistik (MR)

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Pembelajaran Matematika Realistik (MR)

Menurut Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.

Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR?

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat gambar 02).
Gambar 2 Penemuan dan Pengkonstruksian konsep
(Diadopsi dari Van Reeuwijk,1995)

Kaitan antara Pembelajaran MR dengan Pengertian

Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata “bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau sudah. Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada saat di kelas saya mengerti penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas saya mengerti contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan” Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang mereka lupakan. Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan apa saja. Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka. Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali.

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

Jumat, 26 Oktober 2007

tugas resensi

Judul
:
Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Stategi, Metode, dan Tekniknya
Pengarang
:
Dr. Mahsun
Penerbit
:
PT RajaGrafindo Persada
Tahun Terbit
:
2005
Tempat Terbit
:
Jakarta
ISBN
:
979-3654-57-0
Ukuran Buku
:
xviii, 376 hal., 21 cm
Catatan
:

Harga
:


Pelaksanaan Penelitian Diakronis
Oleh Frans Asisi Datang

Satu lagi buku metode penelitian hadir untuk memperkaya kazanah ilmu pengetahuan kita. Buku berjudul Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Stategi, Metode, dan Tekniknya, diterbitkan oleh PT RajaGrafindo Persada, tahun 2005. Buku setebal 376 ini disusun oleh Dr. Mahsun, linguis yang sekarang berkarya di Pusat Bahasa dan Universitas Negeri Mataram.
Buku ini terdiri atas empat bab ditambah penutup. Pada bab pertama penulis menjelaskan gagasan-gagasan pokok sekitar metode penelitian, seperti pengertian metode penelitian, masalah penelitian, hipotesis, teori, metode, data, dan hakikat penelitian bahasa, serta penjelasan mengenai tahapan-tahapan penelitian bahasa.

Kemudian pada bab kedua penulis menguraikan cara menyusun proposal penelitian, khususnya penelitian bahasa. Uraian pada bab kedua ini dimulai dengan penyusunan bagian pendahuluan sebuah proposal penelitian, perumusan masalah dan tujuan penelitian, perumusan hipotesis penelitian, penyusunan tinjauan pustaka dan daftar pustaka, penjelasan mengenai teori yang digunakan dalam penelitian, penentuan metode yang akan digunakan, dan perencanaan jadwal penelitian serta biaya penelitian.

Setelah menguraikan tahap prapenelitian, pada bab ketiga penulis memamparkan tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian. Pembahasan pada bab ketiga ini terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu pelaksanaan penelitian secara sinkronis, pelaksanaan penelitian secara diakronis, dan pelaksanaan penelitian sosiolinguistik. Pada tiap-tiap pokok bahasan tersebut penulis memaparkan cara-cara penyediaan data penelitian, cara-cara menganalisis data, dan cara-cara menyajikan hasil analisis data penelitian.

Pada bahasan mengenai pelaksanaan penelitian secara sinkronis, penulis menjelaskan terminologi sinkronis dan diakronis yang dianjurkan pertama kali oleh Bapak Linguistik Modern, Ferdinand de Saussure. Sedangkan penyediaan data pada pelaksanaan penelitian secara sinkronis, menurut penulis dapat dilakukan dengan menggunakan metode simak, metode cakap, dan metode introspeksi. Yang dimaksud penulis dengan metode simak tidak hanya berkaitan dengan penyimakan bahasa yang digunakan secara lisan tetapi juga penyimakan bahasa yang digunakan secara tertulis. Karena teknik utama dalam metode simak adalah teknik sadap maka jika peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa secara lisan, peneliti dapat melakukan penyadapan dengan cara mencatat saja, merekam saja, atau melakukan keduanya sambil ikut terlibat di dalamnya. Sebaliknya, jika peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa secara tertulis maka peneliti hanya dapat mencatat saja.

Berbeda dengan metode simak, yang ditekankan penulis dalam metode cakap adalah kontak antara peneliti dan informan. Metode ini dapat dilakukan dengan teknik pancing. Peneliti memberi stimulasi (pancingan) agar informan memberikan atau menuturkan data yang diharapkan peneliti. Namun, jika si peneliti sebagai pengguna bahasa sekaligus sebagai peneliti, maka si peneliti menggunakan metode introspeksi. Dalam hal ini si peneliti mengumpulkan data dengan mengandalkan kemampuan bahasanya sendiri. Itulah yang dimaksud penulis dengan metode introspeksi.

Untuk menganalisis data penelitian sinkronis, penulis mengajurkan untuk menggunakan metode padan intralingual dan metode padan ekstra lingual. Yang dimaksud penulis dengan metode padan intralingual adalah ”metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun yang terdapat dalam beberapa bahasa yang berbeda”(hlm. 112). Sebaliknya, jika peneliti menghubung-bandingkan masalah bahasa dengan hal di luar bahasa peneliti menggunakan metode padan ekstralingual.

Metode cakap dan metode simak juga digunakan dalam pelaksanaan penelitian diakronis. Kedua metode ini diperjelas dengan teknik-teknik, antara lain teknik rekam, teknik catat, dan teknik sadap. Di samping penjelasan mengenai kedua metode tersebut, penulis menambahkan beberapa penjelasan lain dalam pelaksanaan penelitian dikronis, yaitu mengenai satuan daerah pengamatan, penentuan daerah pengamatan, ihwal informan, dan daftar pertanyaan.

Dalam bagian pelaksanaan penelitian sosiolinguistik, penulis memulainya dengan penjelasan mengenai sosiolinguistik sambil mengajukan 23 macam topik penelitian sosiolinguistik (h.208—209). Kemudian, sebelum menjelaskan metode penyediaan data dalam penelitian sosiolinguitik, penulis menjelaskan masalah penarikan sampel penelitian sosiolinguistik dan penentuan kelas sosial. Di samping metode simak dan metode cakap, untuk penyedian data dalam pelakasanaan penelitian sosiolinguistik juga digunakan metode survei yaitu, “metode penyediaan data melalui penyebaran daftar tanyaan yang terstruktur dan rinci untuk memperoleh informasi dari sejumlah besar informan yang dipandang representatif mewakili populasi penelitian” (h. 222—223). Hal penting lain yang dibahas penulis pada bagian pelakasanaan penelitian sosiolinguistik adalah dua model analisis data dalam ilmu-ilmu sosial umumnya, yaitu analisis data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Catatan Kritis
Buku ini sebenarnya bisa mengisi peluang kurangnya buku metode penelitian bahasa yang terbit sampai setakat ini karena buku yang khusus mengenai metode penelitian bahasa masih sangat langka. Sebelum buku ini hadir, di kalangan linguis dan peneliti hanya ada beberapa buku yang membahas masalah penelitian bahasa, antara lain Sudaryanto (1986, 1988). Namun, setelah membaca buku tersebut mungkin pembaca akan kecewa karena harapan pembaca tersebut mungkin tidak akan terpuaskan.

Pertama, setelah membaca seluruh isi buku ini, maka pembaca akan sadar bahwa sebenarnya penulis tidak menguraikan metode-metode penelitian bahasa secara umum tetapi menguraikan metode penelitian diakronis. Hal itu terlihat dari segi jumlah halaman bahasan dan kedalaman pembahasan. Dari segi jumlah halamannya, bahasan pelakasanaan penelitian diakronis jauh lebih banyak dari pada bidang kajian lain. Seluruh bagaian lampiran (yaitu Lampiran 1—7) pada halaman 289—269 berisi hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian diakronis. Bahasan mengenai pelaksanaan penelitian diakronis (91 halaman) jauh lebih banyak daripada bahasan mengenai pelaksanaan penelitian secara sinkronis (hanya 46 halaman) dan bahasan mengenai pelaksanaan penelitian sosiolinguistik (hanya 53 halaman). Contoh-contoh pada bab kedua, yaitu Tahapan Prapenelitian, hampir semuanya merupakan contoh dalam bidang kajian linguistik diakronis dan sosiolinguistik.

Selain ketidakseimbangan jumlah halaman bahasan, dari segi kedalaman isi bahasan pun sangat tidak seimbang. Bahasan pada topik mengenai pelaksanaan penelitian secara diakronis sangat mendalam dan panjang lebar, sedangkan bahasan pada pelaksanaan penelitian sinkronis dan sosiolinguitik sangat dangkal. Penulis hanya mendeskripsikan metode-metode penyediaan data dengan hanya sedikit contoh. Penulis juga tidak secara tegas menyebutkan bidang kajian linguistik mana yang dimaksud dengan pelaksanaan penelitian secara sinkronis. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksanaan penelitian secara diakronis. Pembaca secara langsung bisa melihat bidang linguistik apa yang dimaksud penulis, yaitu bidang kajian linguistik historis dan dialektologi.

Kedua, sistem penomoran sub-sub bab pada bab ketiga juga tidak sistematis. Jika dilihat dari segi isi bahasan, bab ketiga seharusnya dikelompokkan atas tiga subbab. Pertama, subbab tentang pelaksanaan penelitian secara sinkronis, kedua, subbab tentang pelaksanaan penelitian secara diakronis, dan ketiga subbab tentang pelaksanaan penelitian sosiolinguistik. Pengelompokkan seperti itu tidak terlihat dalam buku ini. Pembaca tidak dibantu untuk memahami isi buku denan mudah karena sistem penomorannya tidak teratur. Di samping itu, pembaca juga akan bingung membaca judul subbab pada halaman 209 dan halaman 218 yang persis sama meskipun besar hurufnya berbeda.

Ketiga, bab keempat mengenai penulisan laporan penelitian sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam buku ini. Bab ini terasa hanya sebagai pelengkap karena bagaimanapun seorang peneliti seharusnya sudah memahami hal-hal yang seharusnya ditulis dalam laporan penelitiannya.

Keempat, sebagai sebuah buku pegangan penelitian sasaran pembaca buku ini tidak jelas. Jika ditujukan bagi mahasiswa S1 buku ini tidak dilengkapi dengan pengantar teori penelitian yang memadai. Apa yang dijelaskan pada bab pertama sama sekali tidak memadai. Di dalam buku ini juga sama sekali tidak ditemukan penjelasan mengenai pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam penelitian. Padahal, silang pendapat mengenai kedua pendekatan tersebut sangat hangat dibicarakan di kalangan peneliti. Jadi, buku kurang tepat jika ditujukan bagi mahasiswa peneliti awal/awam yang belum banyak memehami masalah penelitian. Sebaliknya, jika ditujukan untuk peneliti yang sudah banyak melakukan penelitian, buku ini juga kurang tepat karena banyak sekali hal-hal yang tidak perlu tetapi dimasukkan dalam buku ini, seperti halnya pembahasan pada bab keempat di atas.

Akhirnya, bagaimanapun kehadiran buku setidaknya menyadarkan pembaca bahwa buku tentang metode penelitian itu masih sangat diperlukan oleh para linguis juga oleh pembaca umum yang ingin mengetahui bagaimana cara meneliti sebuah bahasa. Di tengah hiruk-pikuknya penelitian dalam bidang linguistik sampai saat ini, ternyata buku-buku yang secara khusus menjelaskan bagaimana cara melakukan penelitian tersebut belum ada. Kita masih memerlukan buku mengenai bagaimana cara meneliti bahasa anak, bagaimana cara meneliti bahasa orang-orang yang bermasalah dalam bidang bahasa, bagaimana cara meneliti wacana, bagaimana cara meneliti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik bahasa-bahasa, dll. Masing-masing bidang kajian linguistik sebaiknya dibukukan seperti yang dilakukan penulis buku ini pada pembahasan mengenai pelaksanaan penelitian diakronis. Demikian juga dengan lampiran-lampirannya. Dengan kata lain, apa yang penting dalam buku ini adalah bahasan mengenai pelaksanaan penelitian diakronis, karena bahasannya sangat jelas dan terperinci. Jadi, kita patut memberi pujian untuk itu.

Sabtu, 22 September 2007

Tugas Metode Penelitian

Soal :
1. Buatlah uraian tentang metode penelitian (biologi)?
2. Apa hubungan antara teori dengan penelitian ilmiah ?
3. Mengapa harus mencantumkan sumber ( identitas orang, judul dan waktu/tahun penelitian /penulisan) saat kita mengutip teori/kesimpulan/ pendapat orang lain kedalam penelitian kita ?

Jawab :

1. * Perumusan Masalah
Apakah diet yang mengandung kacang merah dapat menurunkan kadar gula darah, kolesterol dan trigliserid?

* Penyusunan Kerangka Berfikir
Perubahan gaya hidup terutama di kota besar termasuk perubahan pola makan menyebabkan peningkatan penyakit degeeratif seperti Diabetes Melitus (DM) dan famili kacag-kacangan dapat menurunkan kadar gula darah, kolesterol dan trigliserid.

*Penarikan Hipotesis
Kacang-kacangan dapat menghambat atau menurunkan kadar glukosa darah , kolesterol dan trigliserid.

*Pengujian Hipotesis
- Kelompok I diberi diet tanpa kacang merah (KM O%) sebagai kelompok kontrol.
- Kelompok II diberi diet mengandung 10 gram kacang merah per 100 gram diet (KM 10 %).
- Kelompok III diberi diet mengandung 20 gr kacang merah per 100 gr diet (KM 20 %)
- Kelompok IV diberi diet mengandung 30 gr kacang merah per 100 gr diet (KM 30 %).
- Kelompok V diberi diet mengandung 40 gr kacang merah per 100 gr diet (KM 40 %)
- Kelompok VI diberi stock diet sebagai data base.
Selanjutnya setiap ekor tikus percobaan dipelihara didalam kandang experimen secara sendiri. Tikus percobaan diberi makanan sesuai kelompok dan air minum secara bebas selama 30 hari. Setelah masa pemberian makanan, semua hewan percobaan dimatikan dengan bantuan eter pembius, kemudian darah diambil dengan cara fungsi jantung. Selanjutnya dilakukan analisis darah terhadap kadar glukosa darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida.

* Penarikan Kesimpulan
Kadar kacang merah yang optimal dalam diet untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah 20 %, untuk menurunkan kadar kolesterol total dalam darah adalah 30 %, untuk menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah adalah 40 %, untuk meningkatkan kadar kolesterol HDL dalam darah adalah 10 %, dan untuk menurunkan kadar trigliserida darah adalah 40 %.

2. Penelitian merupakan suatu metode ilmiah dalam membantu memahami dan menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan, baik dengan alam maupun
kehidupan sosial masyarakat. Menurut Kenneth D Balley (methods of social research). Teori
merupakan suatu upaya untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu serta harus dapat diuji, suatu
pernyataan yang tidak dapat menjelaskan dan memprediksi sesuatu bukanlah teori.komponen
dasar teori : konsep dan variabel. Teori terdiri dari sekumpulan konsep yang umumnya di ikuti
oleh relasi antar konsep sehingga tergambar hubungannya secara logs dalam suatu kerangka
berfikir tertentu. dalam penelitian akan ditemui 2 jenis konsep :
a. Konsep yang jelas hubungan dengan realitas (contoh : meja,lemari, kursi)
b. Konsep yang lebih abstrak dan lebih kabur hubungannya dengan realitas ( contoh :
motofasi, kecerdasan , dan komitmen)
Prof. Dr. H. Bambang Suwarno, M.A. (UPI Bandung). merumuskan penjabaran-penjabaran
konsep untuk kepentingan suatu penelitian kedalam 3 tingkatan (konsep teori, konsep empiris
dan konsep analitis). Pentingnyateori dalam suatu penelitian menginditasikan seorang peniliti
perlu membekali dirinya dengan pendalaman teori-teori yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian, hal ini juga dikarenakan teori itu (menurut
Fisher) berfungsi sebagai peta yang mengorganisasikan gejala-gejala menjadi kelas-kelas yang
dapat dikenal dengan prosedur penjabaran hubungan antara hukum teoritis dan fenomena
empiris.

3. Pada saat kita membuat jurnal / laporan hasil penelitian kita ada kalanya membutuhkan
pendapat, teori ataupun kesimpulan yang mendukung hipotesas kita. Tentu saja
pendapat-pendapat tersebut haruslahdariorang yang ahli dan pakar dibidangnya, jadi
dengan mencantumkan sumber (identitas orang, judul dan waktu, tahun penelitian)
menunjukkan bahwa penelitian kita mendekati akurat dan bahwa penelitian kita
dilakukan sebenarnya dan tidak sekedar menduga, coba - coba ataupun rekayasa.

Tugas Metode Penelitian